Pernikahan Dini dalam Kacamata Hukum (Studi Kasus) - Berhukum Eps. 9

Semacam Jurnal - Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah di mana seorang lelaki dan juga perempuan melakukan akad yang bertujuan untuk mendapatkan kehidupan sakinah (tenang dan damai), mawaddah (saling mencintai dengan penuh kasih sayang) dan warahmah (kehidupan yang dirahmati Allah SWT). Tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sehingga dasar hukum Islam dari sebuah pernikahan bisa dikatakan sunnah, wajib atau bahkan mubah.

Ilustrasi

Sementara pernikahan dini merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang dilakukan saat kedua belah pihak masih berusia di bawah 18 tahun atau masih dalam sekolah menengah yang sudah akil baliqh. Pernikahan disebut dengan pernikahan dini jika kedua belah pihak atau salah satu orang masih berusia di bawah 18 tahun. Islam sendiri merupakan agama yang sesuai dengan tabiat manusia sehingga sangat jelas jika kesucian dan juga kebersihan seksual akan mengembalikan kita ke dalam ajaran ajaran Islam.

Untuk masyarakat yang hidup pada era awal abad ke-20 dan sebelumya, pernikahan wanita di usia 13 atau 14 tahun dan juga pria pada usia 17 atau 18 tahun menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Namun pada masyarakat sekarang ini, pernikahan dini menjadi hal yang aneh dan wanita berusia di bawah 20 dan pria di bawah 25 tahun sudah dianggap sebagai pernikahan dini.

Baca juga: Hukum, Tujuan, dan Hikmah Perkawinan

Menurut pendapat dari Imam Muhammad Syirazi dan juga Asadullah Dastani Benisi, budaya pernikahan dini dibenarkan dalam Islam dan ini sudah menjadi norma muslim sejak mulai awal Islam. Pernikahan dini menjadi kebutuhan vital khususnya akan memberikan kemudahan dan tidak dibutuhkan studi terlalu mendalam untuk melakukannya.

Ibnu Syubromah menyikapi pernikahan yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah yang saat itu masih berumur 6 tahun dan ia menganggap jika hal ini adalah ketentuan khusus untuk Nabi SAW yang tidak dapat ditiru oleh umat Islam. Akan tetapi menurut pakar mayoritas hukum Islam memperbolehkan pernikahan dini dan menjadi hal yang lumrah di kalangan para sahabat dan bahkan sebagian ulama melumrahkan hal tersebut yang merupakan hasil interpretasi Surat al Thalaq ayat 4. 

“Dari Aisyah R. A.  (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi).

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS At-Thalaq : 4)

Hukum asal sunnah sendiri bisa berubah menjadi wajib atau haram berdasarkan dari kondisi orang yang akan membangun rumah tangga dalam Islam. Jika ia tidak bisa menjaga kesucian atau ‘iffah dan akhlak kecuali dengan menikah, maka hukum menikah menjadi wajib untuknya. Hal ini dikarenakan kesucian dan akhlak menjadi hal yang wajib untuk semua umat muslim. Hukum bisa berubah menjadi haram jika pernikahan dilakukan karena alasan ingin menyakiti istri atau karena harat dan sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya untuk agama.

Menikah secara usia dini pada dasarnya merupakan sebuah pernikahan lainnya, namun dilakukan oleh pasangan yang masih berusia muda. Karena pernikahan dini sama halnya dengan pernikahan pada umumnya, maka hukum yang berhubungan dengan pernikahan dini juga harus ada di semua pernikahan. Akan tetapi, ada hukum khusus yang bertolak dari kondisi khusus contohnya mahasiswa yang masih kuliah sehingga belum bisa memberikan nafkah dan sebagainya.

Baca juga: Mengenal Hukum Perkawinan Islam

Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh.  Bahkan kitab-kitab fiqh diperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan: "Boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil" atau "boleh menikahkan laki- laki yang masih keril dan perempuan yang masih kecil" sebagaimana yang terdapat dalam kitab Syarh Fath al-Qadir (Ibnu al-Humam, 274 dan 186). 

Begitu pula kebolehan itu disebutkan secara tidak langsung sebagaimana mestinya setiap kitab fiqh menyebutkan kewenangan wali mujbir mengawin-kan anak-anak yang masih kecil atau perawan.  Bahkan dalam literatur fiqh kontemporer ditemukan ungkapan: "Bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si istri disusukan oleh ibu si suami, maka istrinya itu menjadi haram baginya."  (al-Jaziriy, IV: 94)  

Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun ke bawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu dapat berlangsung selama yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang.  Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. 

Walaupun dalam hukum negara pernikahan dini apabila dilakukan berarti telah mengabaikan beberapa hukum yang telah ditetapkan, antara lain: (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan pihak wanita sudah berusia 16 tahun” (Pasal 7 ayat 1). “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya” (Pasal 6 ayat 2), (b) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 26 ayat 1) “Orang tua bertanggung berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak" (c) Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Amanat undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi anak agar tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh, berkembang serta terlindungi dari perbuatan ke kerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Ilustrasi

Memang wajar jika ada kekhawatiran pihak-pihak tertentu bahwa pernikahan di usia dini akan menghambat studi atau rentan akibat kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang belum dewasa. Namun sebetulnya kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijelaskan dengan gamblang oleh Mohammad Fauzil Adzim dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, demikian juga dalam buku “Children Development Through” yang ditulis oleh Clarke-Stewart & Koch, bahwa pernikahan di usia remaja dan masih duduk di bangku sekolah bukan penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Dengan mengikuti pada hukum asalnya, maka pernikahan dini hukumnya boleh untuk kemaslahatan. Karenanya tidak ada alasan untuk menunda-nunda pernikahan selama kita yakin melangkah dengan iringan niat yang tulus melaksanakan syariat Islam. Pernikahan dini tidak akan menjadi perintang seseorang untuk berkreasi, melanjutkan studi, bersosialisasi, bahkan meniti karir yang lebih tinggi. Selama segala persyaratan di atas dipenuhi, pernikahan dini bukan menjadi batu terjal yang menghalangi kita dalam meniti studi menata asa, merenda kasih sayang, menuai bahagia.

Dengan demikian, hukum akad nikah pada usia dini itu memang dalam negara belum diakui sebelum usia 19 tahun tapi sah menurut agama Islam bila mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan. Kecuali negara menghendaki melalui jalan isbat nikah dengan perantara hakim di Pengadilan Agama.

Baca juga: Sebenarnya Apa itu Perkawinan?

Sampai jumpa pada konten tulisan berikutnya!

#SalamSakinahPeople

Post a Comment

0 Comments