Masih ingat program P3LP yang digagas oleh Kementerian Kesehatan? Inisiatif ini menanamkan gagasan bahwa dukungan psikologis awal bisa menjadi hal sederhana tapi penting—sebuah "pertolongan pertama pada luka psikologis" di tempat kerja yang bisa menjaga semangat dan produktivitas karyawan tetap terjaga. Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan BKKBN mengingatkan bahwa fasilitas kesejahteraan—mulai dari layanan keluarga berencana hingga rumah layak huni—bisa jadi game changer bagi kualitas hidup pekerja dan keluarganya.
Perusahaan yang pro-keberlanjutan kini mulai melihat kesejahteraan karyawan sebagai investasi, bukan biaya. Program fisik seperti yoga, workstation ergonomis, dan pilihan makan sehat ternyata berdampak besar terhadap semangat kerja dan loyalitas karyawan. Sementara itu, pendekatan holistik yang mencakup kesehatan mental, fleksibilitas kerja, literasi finansial, hingga cuti untuk perawatan emosional terbukti meningkatkan retensi dan mengurangi biaya kesehatan perusahaan secara signifikan.
Di sisi lain, perbincangan tentang maskulinitas juga semakin menggema di tempat kerja. Kita mulai mendobrak mindset bahwa "pria harus selalu kuat" atau tak boleh menunjukkan emosi. Pandangan seperti itu sebenarnya berbahaya secara psikologis. Ilmu sosial telah mengenalkan istilah toxic masculinity—ingat stigma "boys will be boys" atau larangan bagi pria untuk menangis—yang justru memicu stres, masalah mental, bahkan penyakit serius. Di lingkungan kerja, hal ini bisa tergolong destruktif: menyebabkan konflik, kurangnya empati, ketidakadilan gender, hingga performa yang menurun.
Apa itu maskulinitas sehat? Orang yang punya maskulinitas sehat bisa menghargai kesetaraan, menunjukkan empati, dan kompetitif secara positif tanpa merendahkan orang lain. Mereka memahami bahwa kekuatan sejati bukan diukur dari dominasi, tapi dari solidaritas, tanggung jawab, dan keseimbangan. Terlebih lagi, ketika pria menjadi penentu budaya perusahaan, model perilaku positif ini bergaung sampai ke seluruh organisasi. Seperti yang dikatakan Daniel Principe, pendukung maskulinitas sehat dari Australia, menyarankan agar kaum muda melakukan hal-hal bermakna seperti aktif di alam, bergaul positif, serta memilih panutan dengan bijak—karena kita bisa menjadi apa yang kita lihat sehari-hari.
Fenomena hustle culture atau kultur kerja tanpa henti juga memberi tekanan lebih besar pada pria—karena adanya stigma bahwa menjadi pria berarti unggul materi dan selalu produktif. Padahal, tekanan seperti itu banyak mengancam kesehatan mental dan keseimbangan hidup mereka. Jadi, maskulinitas sehat di tempat kerja bukan hanya soal keseimbangan gender, tapi juga soal menyelamatkan mental para pekerja dari ekspektasi yang tidak manusiawi.
Intinya, kita sedang memasuki era di mana kesejahteraan kerja dan maskulinitas sehat sudah saling terkait erat. Saat tempat kerja mendukung kesehatan fisik dan mental, sambil juga menumbuhkan model maskulinitas yang positif—hasilnya bukan hanya karyawan yang lebih bahagia, tetapi juga organisasi yang lebih tahan banting, inklusif, dan manusiawi.
Enjoy with my content,
And be yourself.
-Pijri Paijar-
0 Comments