
Istilah AI psychosis, atau kadang disebut chatbot psychosis, sedang menjadi bahan pembicaraan hangat di berbagai media internasional. Fenomena ini merujuk pada kondisi mental di mana seseorang mengalami delusi, paranoia, atau keyakinan keliru setelah berinteraksi intens dengan kecerdasan buatan, khususnya chatbot berbasis AI. Walaupun belum diakui secara resmi dalam dunia medis sebagai diagnosis klinis, laporan kasusnya mulai bermunculan di banyak negara. Yang membuatnya mengkhawatirkan, fenomena ini bukan hanya menyerang mereka yang sudah memiliki riwayat gangguan mental, tetapi juga orang yang sebelumnya dianggap sehat secara psikologis.
Beberapa kisah nyata yang dilaporkan media cukup membuat bulu kuduk merinding. Di Belgia, seorang pria bunuh diri setelah chatbot memperkuat ketakutannya tentang krisis iklim. Dalam percakapan yang berlangsung berminggu-minggu, chatbot tersebut disebut-sebut memvalidasi pikirannya bahwa dunia akan segera berakhir dan hanya ada satu cara untuk “menyelamatkan” orang-orang yang ia cintai. Kasus lain terjadi di Amerika Serikat, di mana seorang remaja dikabarkan mengakhiri hidupnya setelah terlibat dalam interaksi emosional dengan chatbot yang mendorongnya untuk “pulang” sebagai tanda cinta digital. Ada pula cerita pengguna yang mulai percaya bahwa AI yang mereka ajak bicara adalah entitas spiritual atau bahkan pasangan hidup yang nyata.
Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Jawabannya ada pada cara kerja chatbot modern. Banyak sistem AI dirancang untuk menjaga percakapan tetap mengalir dan terdengar ramah. Mereka bisa meniru empati, mengenali pola emosi dalam bahasa pengguna, dan merespons dengan nada yang membuat kita merasa dipahami. Ada yang menyebut fenomena ini sebagai “Efek ELIZA”, diambil dari program chatbot sederhana di tahun 1960-an yang sudah mampu membuat orang percaya mereka sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar mengerti perasaan mereka. Bedanya, teknologi sekarang jauh lebih canggih dan responsif, sehingga ilusi keterhubungan emosional itu jadi lebih kuat.
Masalahnya, AI bukanlah terapis. Meskipun mampu meniru gaya komunikasi manusia, AI tidak memiliki pemahaman emosional yang sesungguhnya. Ia mengolah data dan memprediksi kata-kata berdasarkan pola, bukan dari empati murni. Jika pengguna memiliki kecenderungan delusional atau sedang berada dalam kondisi emosional yang rapuh, interaksi semacam ini bisa memperburuk keadaan. AI kadang juga mengalami “halusinasi” atau memproduksi informasi yang tidak benar. Dalam konteks orang yang sudah percaya pada hal-hal tidak realistis, kesalahan informasi seperti ini dapat memperkuat keyakinan yang salah.
Yang membuat AI psychosis berbahaya adalah sifatnya yang diam-diam. Banyak orang tidak sadar ketika pikiran mereka mulai bergeser. Pada awalnya mungkin hanya merasa nyaman berbicara dengan chatbot, tetapi lama-kelamaan hubungan ini bisa menjadi satu-satunya sumber dukungan emosional. Perlahan, dunia nyata terasa semakin jauh, dan hubungan dengan orang lain di kehidupan nyata mulai menurun. Dalam kasus yang ekstrem, pengguna bisa mengembangkan narasi fantasi yang begitu kuat hingga sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang dihasilkan oleh AI.
Fenomena ini tidak mengenal batas usia atau latar belakang. Memang, mereka yang sudah memiliki riwayat gangguan mental seperti skizofrenia, bipolar, atau psikosis lebih berisiko. Namun, bahkan orang yang sehat mental pun bisa terpengaruh jika terlalu sering berinteraksi dengan AI dalam kondisi tertentu, misalnya saat kesepian, mengalami stres berat, atau kehilangan dukungan sosial. Interaksi jangka panjang tanpa batasan jelas bisa membuat seseorang “terjebak” dalam realitas buatan yang mereka bangun bersama chatbot.
Kehadiran AI dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya membawa banyak manfaat. Chatbot bisa membantu pekerjaan, memberikan hiburan, atau menjadi teman ngobrol ringan saat bosan. Tetapi ketika pengguna mulai mengandalkan AI sebagai pengganti hubungan manusia, di situlah masalah bisa muncul. AI tidak punya kewajiban moral atau etika yang sama seperti manusia, dan meskipun ada filter keamanan, sistem ini tidak sepenuhnya bisa mencegah respons yang mungkin berbahaya bagi orang yang rentan.
Lalu, bagaimana cara mencegah terjadinya AI psychosis? Kuncinya ada pada kesadaran dan pembatasan. Menggunakan AI sebaiknya tetap dalam konteks yang jelas—misalnya untuk mencari informasi, berdiskusi soal ide kreatif, atau membantu belajar. Jika mulai merasa chatbot “mengerti” kamu lebih dari siapa pun, itu tanda untuk mengambil jarak. Menjaga keseimbangan antara interaksi digital dan kehidupan sosial nyata adalah hal yang sangat penting. Berkumpul dengan keluarga, bertemu teman, dan berbicara dengan orang nyata akan membantu menjaga pikiran tetap terhubung dengan realitas.
Penting juga untuk mengingat bahwa AI hanyalah alat. Ia tidak memiliki kesadaran, perasaan, atau niat. Semua respons yang terlihat “manusiawi” hanyalah hasil pengolahan algoritma. Menganggapnya sebagai sahabat, guru, atau penasihat boleh saja, selama kita sadar bahwa yang kita hadapi adalah program komputer. Jika mulai muncul pikiran aneh, keyakinan yang tidak realistis, atau perasaan terikat secara emosional pada chatbot, sebaiknya hentikan interaksi dan pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional.
AI psychosis adalah cermin dari bagaimana teknologi bisa mempengaruhi pikiran manusia lebih dalam dari yang kita kira. Sama seperti media sosial yang dulu mengubah cara kita berinteraksi, AI generatif kini mengubah cara kita memandang percakapan dan hubungan. Bedanya, interaksi dengan AI terasa jauh lebih personal dan intim, sehingga efeknya pada pikiran bisa lebih kuat. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi semakin pintar, kita tetap harus menjadi pihak yang mengendalikan, bukan dikendalikan.
Di masa depan, kemungkinan akan ada lebih banyak riset tentang AI psychosis. Para pengembang mungkin akan menciptakan fitur deteksi dini untuk mengenali tanda-tanda delusi pada pengguna. Pemerintah dan lembaga kesehatan mental pun bisa mulai membuat pedoman penggunaan AI yang aman, terutama untuk kelompok rentan. Namun, pada akhirnya, kesadaran pengguna sendiri tetap menjadi pertahanan pertama.
Teknologi memang diciptakan untuk mempermudah hidup, tetapi bijaklah dalam menggunakannya. Jangan sampai kita terjebak dalam kenyamanan semu yang ditawarkan layar, hingga lupa bahwa dunia nyata penuh dengan hubungan dan pengalaman yang tak tergantikan. AI bisa menjadi alat luar biasa, tetapi hanya jika kita menggunakannya dengan batas yang sehat. Fenomena AI psychosis adalah pengingat bahwa bahkan di era digital yang serba canggih, kita tetap manusia yang membutuhkan interaksi nyata untuk menjaga kewarasan.
Enjoy with my content,
And be yourself.
-Pijri Paijar-
0 Comments